Oleh:
Gustian Munaf (Guru MAN 5 Tangerang)
Tayangan media akhir-akhir ini yang cenderung mendiskreditkan peran santri dan menyoroti isu feodalisme pesantren secara sepihak perlu diluruskan. Kita harus melihat santri dan pesantren dalam bingkai yang utuh, sesuai dengan tema Hari Santri Nasional (HSN) 2025: “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”. Santri adalah penjaga tradisi kebangsaan sekaligus akselerator kemajuan global, bukan objek kepatuhan buta. Tema ini bukan sekadar narasi seremonial, melainkan sebuah penegasan peran sentral santri sebagai penjaga tradisi kebangsaan sekaligus akselerator kemajuan global. Di balik optimisme ini, kita harus jujur melihat tantangan internal yang kerap menjadi sorotan, yaitu isu feodalisme pesantren. Hanya dengan mengatasi bayang-bayang feodalisme, santri dapat bergerak bebas dan seutuhnya menuju panggung peradaban dunia.
Menyambut Visi Global Santri
Peran historis santri dalam kemerdekaan bangsa tidak terbantahkan. Resolusi Jihad 1945 menjadi tonggak monumental kontribusi ulama dan santri dalam menjaga eksistensi Republik. Kini, tantangan kemerdekaan bergeser dari fisik ke ideologis, sosial, dan ekonomi. Santri, dengan bekal ilmu agama yang mendalam (tafaqquh fiddin) dan penguasaan ilmu pengetahuan umum, adalah garda terdepan untuk mengawal nilai-nilai moderasi Islam (wasatiyyat al-Islam) dan kebangsaan (Nasionalisme).
Visi Menuju Peradaban Dunia menuntut santri untuk melampaui batas-batas pondok. Hal ini sejalan dengan pandangan pemikir pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani yang menyerukan Islah (reformasi) dalam pendidikan Islam agar umat mampu menjawab tantangan modernitas (Ridwan, 2024). Santri masa kini dituntut menjadi “ulama yang intelek dan intelek yang ulama”. Mereka adalah insinyur yang hafal Al-Qur’an, ekonom syariah yang menguasai teknologi digital, dan aktivis sosial yang berakhlak mulia. Keberadaan alumni pesantren di berbagai sektor strategis negara, mulai dari menteri hingga pengusaha, adalah bukti nyata dari peran transformatif ini (Hariyadi, 2018).
Mengurai Kompleksitas “Feodalisme Pesantren”
Isu “feodalisme pesantren” sering muncul sebagai kritik terhadap relasi kuasa yang terlalu hierarkis antara Kiai/Nyai dan santri (Zulfahmi Zein, 2025). Dalam konteks pesantren, feodalisme bukanlah sistem kepemilikan tanah ala Eropa Abad Pertengahan, melainkan lebih bersifat kultural dan simbolik.
Penalaran Logis Feodalisme Kultural
- Kultus Individu (Barokatologi): Penghormatan yang berlebihan (ta’dzim) kepada Kiai/Nyai terkadang didorong oleh keyakinan yang sangat kuat akan “barokah” ilmu. Hal ini, jika tidak diimbangi dengan nalar kritis, dapat mengarah pada kultus individu, di mana perintah Kiai dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan.
- Disiplin Doktrinal: Filsuf Michel Foucault dalam karyanya tentang relasi kuasa, menjelaskan fenomena pendisiplinan tubuh dan pikiran. Dalam bingkai pesantren, kritik menyebutkan bahwa adab dan doktrin agama dimanfaatkan untuk melanggengkan kepatuhan total (Omong-Omong, 2025). Akibatnya, santri yang kritis sering dicap “tidak beradab” atau “durhaka”.
- Contoh Konkret yang Harus Dihindari:
- Penggunaan santri senior sebagai perpanjangan tangan Kiai dalam sistem yang otoriter tanpa ruang dialog yang memadai.
- Kasus-kasus di mana kesetiaan buta dimanfaatkan untuk kepentingan non-edukatif, seperti dukungan politik praktis yang tidak berbasis pada pilihan rasional santri, atau bahkan kasus penyalahgunaan kekuasaan seperti kekerasan simbolik dan seksual yang tertutupi atas nama adab (Omong-Omong, 2025).
Membedakan Ta’dzim dan Feodalisme
Penting untuk menegaskan: Penghormatan (Ta’dzim) kepada guru adalah nilai luhur dalam Islam, yang menjunjung tinggi ilmu dan wasilah ilmu. Ini bukan feodalisme (Zulfahmi Zein, 2025). Feodalisme adalah ketika hierarki didasarkan pada kekuasaan sewenang-wenang dan status tanpa mempertimbangkan moralitas dan keilmuan, yang mana hal ini bertentangan dengan semangat egalitarianisme dalam Islam (QS. Al-Mujadilah: 11).
Akselerasi Santri: Gerakan Melawan Kepatuhan Buta
Jalan menuju peradaban dunia mengharuskan santri menjadi subjek otonom yang berilmu dan berkarakter, bukan objek yang hanya patuh. Santri harus menjadi agen perubahan, bukan pewaris tradisi yang kaku. K.H. Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, telah memberikan contoh nyata modernisasi pesantren yang memadukan pendidikan agama dengan umum, serta mengadopsi manajemen yang profesional (Setiawan, 2024). Visi Gontor untuk mencetak “manusia seutuhnya” adalah model ideal santri yang mampu menapaki jalan menuju peradaban dunia, di mana kepemimpinan didasarkan pada kapasitas, moralitas, dan profesionalisme, bukan semata garis keturunan atau kuasa feodal.
Peran Santri Menuju Peradaban Dunia
Untuk mewujudkan tema HSN 2025, santri harus menguasai tiga peran kunci:
- Intelektual Pembaharu: Santri harus menjadi pemikir Islam yang mampu melakukan Ijtihad Kontemporer. Mereka harus menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan modern (sains dan digital) untuk memberikan solusi atas permasalahan global, seperti yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh saintis Muslim klasik seperti Ibnu Sina (Bapak Kedokteran Modern) dan Al-Khwarizmi (Bapak Aljabar) (Darul Abror IBS, 2024).
- Agen Moderasi Global: Santri Indonesia, dengan latar belakang Ahlusunnah wal Jama’ah dan tradisi Nusantara, adalah duta Islam rahmatan lil ‘alamin. Mereka menjadi penyeimbang di tengah ekstremisme dan polarisasi global.
- Pencipta Kesejahteraan: Santri kini aktif dalam pembangunan ekonomi kerakyatan, mendirikan koperasi dan sentra usaha. Mereka harus menjadi pengusaha muda syariah dan inovator yang menjunjung etika bisnis Islam, seperti yang ditekankan dalam konsep Baldatun Tayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Santri Masa Kini Menghadirkan Wajah Pesantren Seutuhnya
Kita tidak boleh membiarkan stigma “feodalisme” menutupi keunggulan sejati pesantren: pendidikan karakter holistik, kemandirian, dan ketangguhan spiritual. Kritik terhadap feodalisme harus menjadi momentum bagi pesantren untuk memperkuat mekanisme kontrol internal, membuka ruang dialog kritis, dan memastikan bahwa hierarki yang ada bersifat fungsional dan didasarkan pada keilmuan dan moralitas—bukan pada otoritas sepihak (Tebuireng, 2025).
Dengan semangat HSN 2025, mari kita dukung para santri untuk berdiri tegak, menjadi generasi yang ta’dzim kepada ilmu dan guru, namun tetap kritis, inovatif, dan mandiri. Santri Indonesia adalah Pita Cakrawala bangsa—mengikat tradisi kuat di tanah air, sambil memandang luas ke panggung global. Inilah saatnya santri membuktikan bahwa mereka adalah “Pelaku Peradaban Dunia” yang sejati, mengawal kemerdekaan Indonesia menuju kejayaan global.
Daftar Pustaka
- Darul Abror IBS. (2024). Mengenal Tokoh-tokoh Muslim Inspiratif dalam Sains. (Diakses pada 14 Oktober 2025).
- Hariyadi, R. (2018). Peran Santri Dalam Pembangunan Bangsa. IAIN Salatiga. (Diakses pada 14 Oktober 2025).
- Kementerian Agama RI. (2025). Ini Filosofi Logo Hari Santri 2025. (Diakses pada 14 Oktober 2025).
- Omong-Omong. (2025). Membongkar Feodalisme di Balik Tabir “Adab” Pesantren. (Diakses pada 14 Oktober 2025).
- Ridwan, Z. (2024). Modernisme Islam: Tokoh dan Pemikirannya. TIMES Indonesia. (Diakses pada 14 Oktober 2025).
- Setiawan, A. (2024). Peran KH. Imam Zarkasyi dalam Mengembangkan Pondok Pesantren Gontor Ponorogo. Proceedings Konmaspi, 1.
- Tebuireng Online. (2025). Di Balik Tuduhan Feodalisme dalam Tubuh Pesantren. (Diakses pada 14 Oktober 2025).
- Zulfahmi Zein, M. K. (2025). Feodalisme dan Barokatologi di Pesantren. Pondok Modern Darul Hikmah. (Diakses pada 14 Oktober 2025).